Sabtu, 02 Oktober 2010

Resensi Pukat

Sebuah Kisah Tentang Kehidupan, Cinta, dan Pengorbanan

Judul buku    : Pukat

Pengarang    : Tere Liye

Penerbit    : Republika

Terbit        : Maret 2010

Tebal        : vi + 351 halaman


 

Cerita anak karya tere liye seri pukat ini mengisahkan sekelumit alur kehidupan beberapa anak desa pedalaman. Tere liye menggambarkan 4 tokoh yang begitu detail dalam satu novel tersendiri untuk setiap tokohnya. Seperti dalam serial pukat ini. Namanya Pukat, anak lelaki tertua dari empat bersaudara dalam tetralogi serial anak – anak mamak. Disini ia diceritakan sebagai anak yang cerdik, kreatif dan polos. Ada bagian dari novel ini yang dapat membuat kita tersenyum karena kecerdikannya, tertawa karena kepolosannya, dan kagum akan imajinasi dan pemikirannya yang kreatif dalam memecahkan suatu persoalan.

Bercerita tentang seorang anak berusia 9 tahun. Ia adalah anak yang cerdik. Dia menggunakan kecerdikannya dalam memecahkan persoalan – persoalan yang ada, seperti pada suatu hari ketika Pukat, Burlian dan ayah mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah paman mereka menggunakan kereta api. Mereka membawa bubuk kopi untuk diberikan kepada paman. Dan disitulah awal dari kisah petualangan yang akan dilewatinya. Ketika kereta memasuki terowongan, tiba – tiba suasana menjadi gaduh, lalu ada perintah agar semua penumpang tiarap. Ternyata mereka adalah segrombolan para perampok. Perampok ini sangat pintar karena merampok ketika kereta sedang didalam terowongan, dan penumpang tidak bisa melihat mereka. Mereka juga menggunakan senjata api sehingga tidak ada yang berani melawan. Perampok memerintahkan mereka untuk memasukkan harta mereka kedalam karung yang telah disiapkan. Semua penumpang termasuk ayah pukat menaati perintah perampok tersebut. Pukat merasa takut, dan bingung harus bagaimana untuk menyelamatkan penumpang. Ketika perampok sampai pada ayahnya, disitulah dia menunjukkan kecerdikannya. Ia menaburkan bubuk kopi ke sepatu para perampok. Saat sampai di stasiun dan Pukat beserta Burlian dan ayah melapor ke kantor polisi, polisi tidak mengalami kesulitan dalam menangkap para perampok, karena sudah ada 'jejaknya' yaitu bubuk kopi yang ditaburkan pukat tadi. Di sekolah, Pukat berteman baik dengan siapapun. Ia mempunyai sahabat baik bernama Raju. Namun, akhir – akhir ini Raju terlihat sinis terhadap Pukat. Ia iri karena ia menganggap Pak Bin – guru mereka – terlalu meng – istimewakan Pukat, dimana setiap pelajaran selalu Pukat yang diminta menjadi contoh. Hal ini semakin parah ketika mereka belajar tentang kalender Cina. Mereka sedang belajar membaca shio, dari tanggal lahir seseorang. Dan Pukat kembali menjadi contoh pertama. Ia mempunyai shio kambing. Sedangkan Raju shio ayam. Raju menyindir Pukat dengan mengatakannya kambing. Dan itu terus berlanjut hingga esoknya, dan mereka berkelahi. Selama 2 bulan lebih mereka berdiam diri, tidak tegur satu sama lain. Hingga suatu hari, ketika wak Lihan (panggilan untuk paman) mengadakan pernikahan putrinya, disana banyak terdapat panci – panci besar berisi makanan, salah satunya gulai. Banyak anak – anak kecil berebur makanan. Begitupun Pukat dan Raju. Mereka menyodorkan mangkuk mereka ke makwo Dar – pengurus panci gulai. Ketika ditanya ingin gulai apa, mereka serentak menjawab "kambing" kata Pukat dan "ayam" kata Raju. Kemudian keduanya berpandangan, sadar akan apa yang baru saja mereka ucapkan dan tersenyum canggung. Begitulah cara mereka berbaikan. Namun sayangnya, mereka harus berpisah selamanya. Karena orangtua Raju akan kembali rujuk, dan itu berarti Raju akan pindah ke kota seberang. Raju yang malam itu sedang duduk dibawah dangau kayu – menjaga lading jagung untuk menambah penghasilan keluarganya – belum mengetahui bahwa kedua orangtuanya akan rujuk. Namun langit berkata lain, malam itu hujan deras mengguyur kampung dan dalam sekejap kampung menjadi banjir. Disaat orang – orang sedang sibuk menyelamatkan barang mereka, Pukat tiba – tiba berteriak ke arah bapak, bahwa Raju ada di dangau sendirian. Bapak dan orangtua lainnya terkejut, mereka bingung apa yang harus dilakukan. Mereka berdoa agar Raju diselamatkan. Kemudian menjelang pagi para pemuda mengirimkan batang – batang bambu agar Raju dapat menangkapnya dan mengapung, sehingga selamat dari bahaya banjir tersebut. Dalam bab ini, Tere liye membuat para pembacanya menjadi penasaran, apa yang terjadi pada Raju setelah banjir itu, karena Tere akan membahasnya pada akhir cerita. Lalu, ada juga pelajaran moral dari bab "seberapa besar cinta mamak". Bab ini menceritakan tentang Pukat, Burlian yang sedang membantu mamak menyiangi rumput. Namun, Pukat sudah tidak sabar untuk segera pulang kerumah, karena ada film kartun kesukaanya. Ia memberanikan diri bertanya pada mamak, apakah ia boleh pulang duluan. Tentunya mamak tidak membolehkannya. Bahkan mamak mengancam mereka – Pukat dan Burlian – yang berani pulang duluan akan dihukum tidur diluar dan tidak boleh makan malam ini. Namun ternyata Pukat sudah tidak sabar dan akhirnya ia pulang duluan selagi mamak mencari rebung. Sesampainya dirumah ternyata film itu tidak ada, karena sedang ada siaran langsung dari TVRI. Pukat kecewa. Selepas maghrib, mamak dan Burlian pulang. Dan akhirnya sesuai dengan ancaman mamak, Pukat tidak boleh makan dan ia dihukum diluar. Sebaliknya, Pukat menjadi kesal benci malah terhadap mamak. Ia tetap diluar dan tidak mau masuk kedalam walau sudah disuruh oleh bapak. Akhirnya bapak membiarkannya bermalam diluar. Tengah malam, hujan mengguyur kampung. Dan Pukat, yang sejak sore belum makan apa – apa, ditambah badannya yang letih menggigil diluar. Bajunya basah terciprat air hujan di teras rumah. Akhirnya bapak dan mamak menggendong Pukat membawanya kedalam. Badan Pukat panas, ia demam. Akhirnya selama berhari – hari mamak menunggui Pukat dan mengobatinya. Pukat sadar bahwa ia salah, dan ia pun meminta maaf pada mamak. Benarlah ucapan bapak, bahwa mamak amat sayang dengan anak – anaknya.

Selepas Pukat sakit, mereka kembali menjalani kehidupan mereka. Dan tentunya sarapan bagi Burlian dan Pukat di pagi hari. Mereka tak menyukai sarapan itu. Hanya nasi dan kecap asin. Dan mamak menyuruh untuk selalu menghabiskannya. Suatu hari, karena kesal mereka berdua tidak mau menghabiskan sarapannya. Akhirnya mamak memutuskan keduanya untuk ikut membuka hutan. Membuka hutan adalah membuka ulang ladang lama yang tidak diurus bertahun – tahun. Membuka hutan ini sangat lama, hingga berbulan – bulan. Mamak menyuruh mereka untuk ikut membuka hutan agar mereka dapat menghargai "sarapan pagi" itu. Pengalaman mereka tentang membuka hutan ini sangat mengerikan. Karena mereka terjebak dalam api, saat pembakaran hutan tengah berlangsung. Mereka – Burlian, Pukat, dan Can – sedang mengejar ayam hutan dan masuk sampai kedalam hutan yang akan dilangsungkan pembakaran. Dan saat pembakaran dilangsungkan, mereka tidak sadar akan hal itu. Ketika mereka menyadarinya, semuanya terlambat. Hutan sudah terbakar di semua bagian, dan mereka ketakutan. Akhirnya mereka berhasil keluar walau baju mereka terbakar.

Pembukaan hutan itu berhasil. Mereka kembali menanam lahan itu dengan padi, jagung, dan lainnya. Hidup kembali normal seperti sebelumnya. Tak ada masalah yang terjadi, sampai suatu saat Wak Yati jatuh sakit, dan dilarikan kerumah sakit. Ia sebenarnya tidak suka rumah sakit. Ia bosan berada di rumah sakit. Dan ketika Pukat sekeluarga menjenguknya, Wak Yati meminta untuk pulang. Akhirnya, dokter mengizinkannya pulang. Dan mereka akan naik kereta api dalam perjalanan pulang itu. Saat di kereta api, Wak Yati berbicara banyak hal. Ia adalah teman Pukat bermain teka – teki. Ia mengulang teka – teki itu pada Pukat.

Lembah tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok… hutan menghijau seperti zamrud… sungai mengalir ibarat naga… tak terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak berbilang.

Keadaan sunyi, kereta mulai memasuki terowongan. Pukat bingung mencari jawabannya. Wak Yati bilang, kapanpun Pukat tahu jawaban itu, ia harus menyampaikannya pada Wak Yati, walaupun hanya di depan pusaranya saja. Dalam gelap itu, Wak Yati tetap berbicara pada mereka semua. Bahwa bapak dan mamak lah yang akan mengurus semua ladang dan rumah Wawak. Ayuk Eli boleh memiliki alat tenunnya, dan Amelia boleh memiliki semua mainan Wak Yati. Saat kereta keluar dari terowongan, dan cahaya mulai kembali, Wak Yati sudah menghadap illahi. Sudah pergi selamanya, terkulai di samping Pukat.

14 tahun berlalu, dan Pukat tumbuh menjadi anak yang pintar. Ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Ia akan pulang ke kampung, karena sudah menyelesaikan pendidikannya itu, dan juga karena ia sudah mengetahui akan teka – teki Wak Yati. Saat ia sampai di Bandara, ia kembali bertemu dengan sahabat lamanya yang sudah menjadi Pilot. Ia adalah Raju. Dalam hal ini, Tere menyembunyikan kenyataan bahwa Raju masih tetap hidup setelah banjir yang melanda kampung bertahun lalu. Karena orangtuanya sudah rujuk, akhirnya setelah selamat dari banjir, ia pun pindah ke kota seberang mengikuti orangtuanya.

Kelebihan buku ini, adalah bahwa Tere liye mampu membawa para pembacanya untuk kembali berpikir phragmatis. Membayangkan kisah masa kecil mereka dulu yang polos, dengan masa kecil anak – anak zaman sekarang, dengan berbagai teknologi dan kecanggihan yang ada. Dan Tere liye menuturkan semuanya dengan detail.

Kekurangan buku ini, adalah buku ini menceritakan tentang masa kecil seorang anak yang berada di pedalaman Sumatra, dan masih menggunakan beberapa kosakata melayu. Sehingga agak sulit dipahami.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

ayo tulis - tulis

my playlist

balon


clock and calendar

banner